Tuesday, March 4, 2014

Adat Perkawinan SAD


Suku Anak Dalam (SAD) atau sering juga di sebut Suku Kubu, merupakan sekelompok masyarakat yang hidup di pedalaman hutan rimba dengan pola berpindah-pindah (Nomaden). Suku pedalaman ini banyak ditemui di hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yang berada di wilayah Provinsi Jambi.

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat sakral (suci) bagi setiap orang, karena perkawinan merupakan suatu perubahan dari "bujang" dan "gadis" untuk hidup bersama dalam sebuah keluarga. Adapun ciri - ciri seorang Suku Anak Dalam (SAD) yang dikategorikan masih bujang (sebutan untuk laki-laki muda) ataupun gadis (sebutan untuk perempuan muda) adalah, sbb :
1. Ciri -Ciri perempuan SAD :
  • Dada tertutup mencirikan masih gadis / perawan.
  • Dada terbuka berarti sudah kawin / bersuami.
2. Ciri - Ciri Berjalan :
  • Cara berjalan SAD baik laki-laki maupun perempuan, sekalipun sudah memakai pakaian akan terlihat dari cara berjalan yaitu : pada posisi kaki didepan segitiga (tapak bagian depan bertemu, dan lutut atas merapat) artinya kebiasaan menguak semak (merebahkan batang pohon kecil untuk berjalan).
3. Ciri Bentuk Dada (umum) :
  • Dada membusung kedepan dan lengan tangan agak kebelakang.
4. Ciri Berpakaian :
  • Walaupun dahulunya mencirikan tidak memakai pakaian yang kita kenal hanya memakai cawat, kini sulit dijumpai di tengah kota yang demikian. Tetapi di tengah hutan rimba hal yang demikian masih bisa kita jumpai.

Melepaskan status Bujang dan Gadis tersebut, maka setiap orang di tiap-tiap daerah mempunyai suatu peristiwa agar dapat dikenang dan dijadikan tuntunan perubahan hidup masa yang akan datang. Begitu pula dengan Suku Anak Dalam juga mempunyai tata cara atau tradisi dalam hal perkawinan, antara lain adalah : 
1. Berbisik.
Berbisik merupakan pengungkapan adat pertama seorang pemuda untuk mengenal atau memilih calon pasangannya, biasanya seorang pemuda mencari kesempatan untuk mencari waktu yang tempat untuk bertemu dengan gadis impiannya, apakah di ladang sedang menugal (membuang tunggul kayu kecil) atau sewaktu mengambil air kesungai. Setelah menjalin komunikasi, Jika diantara mereka ada kecocokan dan kesepakatan kedua pasangan barulah diberitahukan kepada masing-masing keluarganya (orang tuanya).
2. Melamar atau Melambai.
Sebelum datang kerumah si gadis untuk melamar biasanya didahului dengan berunding mengenai wakt yang tepat untuk melamar dan siapa yang ditunjuk untuk melamat dan barang-barang apa saja yang akan dibawa. Supaya keluarga pihak si gadis bersiap-siap maka diutuslah dari pihak laki-laki untuk memberitahukan kepada keluarga si gadis. Pembicaraan lamaran yang akan dirundingkan di rumah gadis harus diberitahukan kepada masyarakat, apakah diterima atau ditolak atau gadis tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain yang disebut dengan Sirih Tanya.
3. Pertunangan.
Setelah kesepakatan diambil, maka dalam waktu yang telah ditentukan pihak keluarga laki-laki mengatur Mudo (tanda) yang berupa cincin dan bahan lainnya, hal ini disebut Rebut Sawar Sarung Kelihir, yaitu :
 " Hendak kain kubagi kain
   Kain pembungkus setangkai padi
   Hendak cincin kubagi cincin
   Cincin sebentuk tanda jadi "

Pelaksanaan acara perkawinan dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Tumenggung dengan mempertemukan kedua kening (kepala) kedua calon mempelai. Sebelum mempertemukan kedua kepala mempelai berdua ditutup dengan selembar kain. Tumenggung mendekati kedua calon mempelai sambil membaca doa (mantera). Pada akhir doa itulah kedua tangan Tumenggung mempertemukan kedua kening calon mempelai. Setelah itu kedua calon mempelai diperintahkan untuk merebahkan badan dengan bentuk berhadapan yang diiringi nyanyian-nyanyian oleh orang banyak dengan berkeliling yang dipimpin oleh Tumenggung, terus dilakukan secara berulang-ulang beberapa kali sampai dinyatakan selesai.

Keesokan harinya pengantin diperintahkan oleh Tumenggung untuk meninggalkan rumah untuk mencari nafkah yang disebut untuk Mencari Lauk. Apakah berhasil atau tidak, pada hari itu juga pengantin harus pulang. Biasanya kepulangan mereka jarang yang tidak membawa hasil sekalipun kecil ini menandakan bahwa yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk hidup dan penghidupannya. Setelah kepulangannya besok harinya, kehidupan mereka berjalan seperti hari-hari biasanya, maka sah lah mereka menjadi pasangan suami istri.

Adapula bentuk dan cara perkawinan yang lain, yaitu dengan cara Meniti Kayu dan Membangun Balai (pondok). Suku Anak Dalam di Sarolangun Bangko biasanya menggunakan cara kedua yaitu membangun balai sebagai uji kemampuan dengan waktu yang telah ditentukan, dengan ukuran 7 X 7 depa. Sedangkan Suku Anak Dalam yang berada di wilayah Batanghari, yang masih menggunakan cara meniti kayu yang kulitnya sudah dikupas agar permukaan kayu menjadi licin dengan ketinggian 1,5 meter. Jika jatuh saat melintasi kayu tersebut, maka niat pernikahan pemuda tersebut dapat tertunda sementara dan dapat di ulang kembali pada waktu yang berbeda sampai dinyatakan bisa.





No comments:

Post a Comment